menu melayang

Wednesday, June 13, 2018

Birgaldo Sinaga : Abang Saya Masuk Islam

dassein - Abang Ku Masuk Islam

"Itooo... Kembalii itoo.. Adikkuuuu jangann pergiiii", jerit Kak Ellen menangis histeris sambil bergulingan di atas tikar.

Apa yang terjadi pikirku? Saya masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang terjadi saat itu. Mengapa abang ku berlari meninggalkan kami yang sedang bersiap menyantap makanan lezat ayam gulai, ikan mas arsik dan lomok-lomok?

Mengapa semua menangis sesunggukan? Mengapa emak terlihat sedih sekali?
Mengapa kakak-kakakku menangis semua?
Belum pernah saya lihat emak menangis histeris seperti itu. Kak Ellen juga. Kakak saya yang lain juga ikutan menangis. Semua menangis. Akhirnya, makanan yang terhidang tidak jadi disantap.

Kelebat peristiwa menyedihkan itu terbongkar kembali ketika saya barusan menyaksikan thriller Film LIMA.

Film ini berkisah tentang sepasang kekasih yang menikah tapi berbeda agama. Si perempuan akhirnya ikut suaminya yang beragama Kristen. Setelah menikah mereka punya anak tiga. Hidup dalam iman Kristen.

Dalam perjalanan rumah tangga itu, si suami meninggal dunia. Tidak berapa lama, istrinya kembali ke agama lamanya. Ia kembali masuk Islam. Dua anaknya tetap memilih agama Kristen. Satu lagi ikut Ibunya.

Masalah menjadi dramatis ketika sang Ibu meninggal dunia. Drama terjadi ketika jenazah hendak diturunkan ke liang lahat. Dua anaknya yang lahir dari rahim si ibu tidak diperkenankan dipegang kedua anaknya karena anaknya bukan seiman dengan Ibunya.

Kisah Film LIMA membuka kembali kepingan ingatan saya. Film LIMA itu serasa menceritakan kepingan-kepingan nostalgia drama keluarga saya dulu.

Saya masih kelas 2 SD pada tahun 1983. Peristiwa yang membuat sekeluarga saya larut dalam duka tangis mendalam. Tangis kehilangan seorang anak lelaki tertua dalam sebuah keluarga Batak Kristen karena abang saya berpindah agama menjadi muslim.

Masa itu, saya belum tahu apa-apa. Saya masih bocah yang hanya tahu bermain bola, pergi sekolah lalu sepulang sekolah memulung sampah yang bernilai. Membantu emak mencukupi sembilan anak-anaknya agar bisa hidup. Ayahku hanya pensiunan Polisi yang harus keluar paksa dari asrama polisi.

Bang Ben, kami memanggil abang tertua kami ini dari nama lengkapnya Stevenson Bennady Sinaga. Ia sosok anak paling disayang emak. Ia anak yang akan mendapat mahkota sebagai pengganti nama ayah kami. Anak sulung penerus nama keluarga.

Bang Ben kuliah di IKIP Medan. Ia sebenarnya ingin menjadi insinyur. Tapi nasib membawanya menjadi guru. Seperti emak yang sekolah guru taman kanak-kanak.

Saat emak belanja untuk keperluan kedai kelontong Bang Ben yang masih duduk kelas SMA yang menemani emak belanja pukul 4 pagi di Pusat Pasar Medan. Emak dan Bang Ben selalu bersama.

Saya pernah dengar dari emak saat mereka dikejar penjahat di pagi buta dekat Pusat Pasar Medan. Emak dan Bang Ben lari tergopoh-gopoh menghindari penjahat itu. Bang Ben pengawal setia emak.

Hari itu, sekitar pertengahan September 1983, keluarga besar kami sedang berbahagia. Kakak tertuaku Kak Ellen bersama suami dan mertuanya baru saja tiba dari Dolok Sinumbah Perdagangan (sekitar 100 km dari Medan). Mereka datang membawa makanan berupa, gulai ayam, ikan mas dan saksang lomok-lomok (masakan khas Batak, babi gulai).

Pasalnya, adik tersayangnya Bang Ben diwisuda sarjana dari IKIP. Bang Ben dapat gelar doktorandus. Buat keluarga Batak dapat gelar sarjana itu sebuah kebanggaan dan kehormatan. Keluarga Batak yang punya anak sarjana akan dihormati oleh saudara dan lingkungannya.

Kakak sulung saya sangat sayang pada Bang Ben. Ia yang membantu biaya kuliah adiknya itu. Kak Ellen bekerja sebagai karyawan di PTP. Maklum, sejak keluarga kami digusur dari Aspol, kehidupan ekonomi keluarga jatuh ke titik nadir.

Di Aula IKIP Medan tempat berlangsungnya wisuda, Kak Ellen bertemu dengan teman Bang Ben. Teman Bang Ben heran, lalu bertanya apakah kakak tidak tahu bahwa adik kakak telah masuk Islam?

Bak kena petir di siang bolong, Kak Ellen terperanjat. Ia berusaha menguasai diri. Ia menjaga informasi itu. Ia berjuang untuk tidak menangis. Dalam sesi foto-foto di kampus IKIP itu, tidak tampak kesedihan terpancar dari kakak Ellen. Ia tegar.

Sepulang acara wisuda, keluarga mengadakan syukuran. Dalam adat Batak memberi makan Bang Ben dengan ikan mas. Pihak tulang (paman) diundang untuk memberi berkat bagi keponakannya ini.

Semua anggota keluarga hadir. Kami sembilan bersaudara duduk di lantai beralas tikar. Bang Ben duduk di tengah diapit emak dan ayahku. Saya duduk di sebelah Kak Ellen.

Makanan dihidangkan. Masakan khas Batak lomok-lomok (anak babi) dihidangkan di depan Bang Ben. Ikan Mas juga dihidangkan di depannya.

Sebelum makan bersama, Kak Ellen membuka percakapan. Ia berusaha tenang. Tapi sepertinya emosinya tidak bisa ditahannya. Dengan suara bergetar Kak Ellen bertanya.

"Dik.. Kakak dengar adik sudah masuk Islam, benarkah? ".

Bang Ben terkejut. Ia tidak menyangka bakal dapat pertanyaan itu. Ia hanya tertunduk dan diam. Serasa tersekat tenggorokannya tidak tahu mau jawab apa. Ia pucat. Seketika, Ia berdiri lalu berlari begitu cepat ke arah pintu. Bang Ben pergi meninggalkan kami yang terkejut tidak percaya.

"Adikku.. Jangan pergiii... Bennn.. Kembali kau Bennn.. Itooo.. Itooo", jerit Kak Ellen panjang memanggil Bang Ben yang pergi meninggalkan kami.

Kak Ellen terus menjerit. Ia mengejar abang tertua saya Bang Ben yang lompat dari duduk lesehan lalu meninggalkan kami seluruh kelurga. Bang Ben meninggalkan kami karena tidak bisa menjawab pertanyaan Kak Ellen. Sepertinya, Bang Ben masuk Islam. Emak yang masih memakai kebaya dan selendang tak kuasa histeris. Ia menundukkan kepalanya sambil tangan kanannya memukuli kepalanya berulang-ulang.

Mulutnya terus mengucap "Oh Jesus.. Ampuni dosaku Tuhan... Mengapa ini bisa terjadi?"

Air matanya terus menderas. Ia dan Kak Ellen meraung-raung seperti kesurupan. Sementara ayahku, dengan mata berkaca-kaca memandang dengan tatapan kosong.

Saya hanya bisa mendekati emak. Saya tidak tahu dan faham apa yang terjadi. Saya menggoyang-goyangkan badan emak.

"Mak.. Mak.. Jangan nangis mak.. Mak.. Jangan nangis mak".

Cukup lama Kak Ellen dan Emak menangis. Mereka sangat terpukul sekali. Serasa menangisi kematian Bang Ben. Bak rumah runtuh terkena gempa bumi.

Saya lupa berapa lama Ayah dan Emak tidak berkomunikasi dengan Bang Ben sejak peristiwa itu. Tapi, sering melihat emak melamun. Saat menjahit baju, emak juga sering menetes air matanya.

Saya hanya bisa mengusap pipi emak dengan sapu tangan. Terkadang saya pijetin kepala emak. Mungkin hampir setahun kemuraman terjadi di keluarga kami. Langit menjadi kelabu.

Emak harus menundukkan mukanya saat para saudara dan tetangga menanyakan Bang Ben. Emak terkadang mendadak emosinya naik turun saat orang bertanya mengapa anaknya masuk Islam.

"Kita negara Pancasila. Bebas memeluk agama", jawab emak ketus suatu kali.

Saya ingat jawaban Emak itu, menjawab keingintahuan Mak Acim yang datang menjahit baju suatu sore setelah kabar Bang Ben terdengar masuk Islam.

Suatu hari, emak mengajak saya ke Pangkalan Berandan (80 km dari Medan). Emak merindu pada anaknya Bang Ben. Sudah lama emak menyimpan kerinduan. Ia tidak bisa melupakan anak laki-laki sulungnya itu. Meski anaknya itu sudah menjadi muslim, emak tidak peduli.

"Emakkk... Emakk datang.. ", teriak Bang Ben sambil memeluk emak. Emak menangis haru. Diciuminya anak lelaki yang sudah dewasa itu. Mereka berpelukan di ruang gerbang Sekolah STM Pangkalan Brandan. Cukup lama emak menangis. Ia mengelus wajah anaknya itu.

"Sehat kau Ben.. ", tanya emak sambil mengelus kedua pipi Bang Ben.

Saya hanya melihat dengan pandangan nanar. Saya sudah mengerti kesedihan. Saya melihat emak begitu sedih tidak pernah jumpa lagi dengan anak kesayangannya itu.

Bang Ben mengajak kami minum kolak dingin di kedai dekat sekolah. Di sana emak cerita banyak. Cerita tentang keadaan ayah, Kak Ellen yang semua sedih kehilangan Bang Ben.

Bang Ben hanya diam mendengar. Ia tahu perasaan emak. Bang Ben mencoba mengalihkan cerita lain. Tapi emak tetap sedih.

Setelah pertemuan itu, hubungan dengan Bang Ben perlahan menghangat. Meski terasa berbeda kebatinannya. Malam Natal dan Tahun Baru, Bang Ben tidak bersama lagi. Ada kekosongan dalam keluarga kami.

Saat menikah dengan kekasihnya, Emak dan Bapak tidak hadir. Saya lupa apakah Bang Ben mengundang atau tidak. Tapi saya tidak mendengar Emak cerita soal itu. Emak tahu Bang Ben mengenal Islam karena berpacaran dengan kekasihnya. Pacarnya seorang muslim taat.

Pada 1990an, anak pertama Bang Ben lahir. Anak laki-laki. Ia senang sekali. Bang Ben datang ke rumah mengubur ari-ari anaknya itu di belakang halaman rumah. Saya ikut menemani Bang Ben.

Emak dan ayah juga senang sekali atas kelahiran cucu pertama dari anak lelakinya itu. Semua menyambut sukacita. Penerus nama marga Sinaga telah lahir. Nama anak Bang Ben akan diukir dalam batu nisan ayah dan emak kelak.

Dalam tradisi Batak, nama cucu menjadi nama panggilannya di lingkungan kolega dan kerabat. Kelak ketika meninggal dunia, nama cucu pertama laki-laki akan menjadi nama yang diukir di Batu Nisan.

Seminggu menjelang lebaran Idul Fitri tahun 2004, sekitar pertengahan November, saya berkunjung ke rumah Bang Ben dibilangan Sei Sikambing Medan.

Saya mengambil cuti pulang kampung dari Batam. Saya mendengar kesehatannya semakin memburuk. Beberapa kali opname di RSUP Pirngadi. Kanker liver telah mengeraskan livernya.

"Hei dik Igol..datang kau dik..tambah gemuk kau dik..apa kabarmu..", sambut Bang Ben sumringah di depan teras rumahnya.

Tampak badannya lebih tambun dari biasanya. Wajahnya menghitam. Di usianya masih kepala empat, penyakit liver semakin menggerogoti fisiknya. Ia tidak mampu lagi bekerja keras seperti biasanya. Sirosis hati membuatnya harus istirahat penuh. Kulitnya menghitam legam. Badannya bengkak.

Kami ngobrol di teras rumahnya di pojok gang kecil dekat Pasar Simpang Pinang Baris. Rumah itu dibangunnya sekitar tahun 2000. Ia baru bisa memiliki rumah sederhana setelah anak pertamanya duduk di kelas V SD. Ia mengumpul rupiah demi rupiah selepas mengajar.

Ia mengajar hanya dua tiga hari saja. Hari-hari luangnya banyak melakukan perjalanan dinas masuk kampung keluar kampung. Masuk pasar keluar pasar. Masuk gang keluar gang. Jualan segala macam barang. Dari sepatu sandal hingga menjual tiket pertandingan sepakbola.

Setiap hari sepulang mengajar atau saat kosong mengajar, tiada henti Ia mencari penghasilan tambahan. Apapun dikerjakannya demi keluarganya. Kadang Ia membawa alat test tekanan darah ke pasar Petisah Medan hanya untuk mengumpulkan uang lima ratus rupiah.

Ia mendedikasikan seluruh hidupnya untuk keluarga dan murid-muridnya yang sudah banyak menjadi orang berhasil. Ia keliling kampung dengan vespa bututnya, menjual sepatu dan sandal.

Setelah dapat untung sedikit, sesekali Ia bergegas ke rumah orang tuanya menyisihkan sedikit rezeki ke tangan emak. “Untuk nambah beli beras ya mak”, ujarnya dengan tawa gembira.

Sekitar awal Maret 2005, kondisi Bang Ben memburuk. Ia baru saja opname kembali. Saya menawarkan berobat ke Singapore. "Kebetulan ada rezeki bang", bujukku via telepon.

Ia senang mendengarnya. Ia setuju dan bersiap mengatur waktu. Seminggu kemudian, ia menelpon.

"Dik.. Mamak jantungnya bermasalah. Baru saja opname. Emak aja yang kamu bawa berobat ke Singapore ya", pintanya lirih.

Saya terdiam. Emak dan Bang Ben sangat dekat. Bang Ben menjadi tempat curhat emak. Bang Ben sangat sayang emak. Ia merelakan dirinya batal berobat ke Singapore demi emak yang sedang sakit jantung.

Sehari menjelang hari Kemerdekaan 17 Agustus 2005, keponakanku menelpon pada dini hari.

"Uda.. bapak meninggal dunia", ujarnya lirih menahan tangis.

Bak kena godam besar tubuhku lunglai. Sekelilingku gelap. Dadaku seperti kosong. Hampa. Saya terdiam tak tahu mau bilang apa.

Saya masuk kamar mandi. Di sana saya menangis keras. Memukul dinding kamar mandi dengan amarah kepada Tuhan. Mengapa orang sebaik dia Engkau buat menderita sakit lalu mati meninggalkan dua anak yang masih kecil?

Hari itu kami seluruh keluarga besar dari luar kota pulang memberi penghormatan terakhir. Sebelum jenazah Bang Ben dimandikan, kami sekeluarga menangisi kepergiannya. Emak nampak paling sedih ditinggal pergi anaknya. Saya mencium keningnya sebagai tanda perpisahan.

Di tengah suara doa Al Fateha dari pelayat yang memenuhi ruang tengah rumah, saya, emak, ayah dan kakak abang berdoa kepada Tuhan Yesus Bapa di Surga. Doa yang begitu perih dan sedih kami naikkan di tengah kecamuk duka cita.

Kami tidak ingat lagi di sekeliling kami sedang menaikkan doa dengan bahasa Arab. Saat-saat itu kami hanya memohon kepada DIA Allah Pencipta Langit Bumi untuk memberi welas asih pengampunan kepadanya.

Semua kami adik-adiknya dan Kak Ellen lengkap mengelilingi tubuh kakunya. Saya membuka dengan nyanyian rohani Kristen. Lagu rohani yang bersamaan dengan lantunan surat Yasin dari pelayat lain. Di depan jenazah, istri Bang Ben dan dua anaknya yang masih SMP tampak berduka sekali.

Emak terus mencucurkan air mata. Kak Ellen juga. Emak dengan suara pelan lirih menyanyikan lagu Kekuatan Serta Penghiburan sambil mengelus wajah anak yang lahir dari rahimnya itu. Emak menyanyikan lagu itu dengan air mata menetes.

"Kekuatan serta penghiburan, diberikan Tuhan padaku
Tiap hari aku dibimbingNya, tiap jam dihibur hatiku
Dan sesuai dengan hikmat Tuhan , ‘ku dib’rikan apa yang perlu
Suka dan derita bergantian memperkuat imanku"

Bang Ben memilih agama Islam sebagai keyakinannya sejak akhir kuliah. Ia memilih jalan hidup memeluk agama Islam sebagai panduannya menuju Sang Pencipta.

Sesaat jenazah Bang Ben dikebumikan, dari bibir liang lahat semua kami saudaranya berdoa kiranya Bapa di Sorga menerima kebaikan Bang Ben yang hidup selalu penuh cinta dan kebaikan.

Pada Juli tahun lalu, emak meninggal dunia. Saat di tepi jenazah emak, saya membatin dalam duka.

"Mak.. Emak ku sayang.. Pasti emak bertemu dengan Bang Ben ya.. Bertemu dengan Kak Ellen juga.. Bertemu dengan Ayah juga. Titip rindu buat mereka ya Emakku sayang".

Lamat-lamat saya dengar lagu kesukaan emak dari bibir emak yang kaku dan dingin. Suaranya begitu tenang dalam lantunan penuh cinta utuh penuh.

"Tiap hari Tuhan besertaku, diberi rahmatNya tiap jam.
DiangkatNya bila aku jatuh, dihalauNya musuhku kejam.
Yang namaNya Raja Maha Kuasa, Bapa yang kekal dan abadi,
Mengimbangi duka dengan suka dan menghibur yang sedih"

Selamat berbuka puasa Bang Ben.. Selamat menyambut lebaran sebentar lagi...

Saya rindu sekali sama kalian Emak, Ayah, Bang Ben dan Kak Ellen..

Salam cintaku utuh penuh

Birgaldo Sinaga

Blog Post

Related Post

Back to Top

Cari Artikel